Respon Indonesia Dalam Penanganan Limbah Medis di Masa COVID-19

Oleh: Chairinnisa Ayal
Mahasiswa FISIP UMM
Jurusan Hubungan Internasional

ARTIKEL l Jejakkasustv.com – Sekarang ini, Pemerintah Indonesia tengah menangani permasalahan atau isu terkait dengan limbah medis infeksisu yang disebabkan oleh Covid-19.

Bacaan Lainnya

Virus corona atau severce acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS Cov-2) merupakan virus yang menyerang pernapasan.

Limbah infeksius yang tergolong B3 atau (Bahan Berbahaya dan Beracun) adalah masker, sarung tangan, alat makan, alat suntik, alat infus, APD dan lain-lain yang telah terkontaminasi dengan pasien Covid-19.

KLHK menjelaskan bahwa dalam kurun waktu satu tahun yaitu dari bulan Maret 2020 sampai dengan Februari 2021, limbah medis yang dihasilkan oleh Fasyankes (Fasilitas Layanan Kesehatan) mencapai 6.418 ton dan kota yang paling banyak menghasilkan limbah medis yaitu Jakarta sebanyak 4.630 ton.

Jumlah ini belum termasuk limbah vaksin yang telah dimulai sejak bulan Januari 2021 yang ditargetkan sebanyak 180 juta penduduk Indonesia.

Terkait dengan bagaimana cara penganan limbah B3 medis ini, menjadi persoalan yang harus diperhatikan.

Jika tidak dikelola dengan tepat maka akan berdampak buruk seperti pencemaran lingkungan dan bahkan bisa sampai terjadi penyebaran virus.

Maka dari itu, limbah B3 ini tidak bisa disamakan dengan limbah rumah tangga yang harus di buang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Limbah B3 telah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terdapat empat prinsip pengelolaan limbah B3 yaitu pertama, semua penghasil limbah secara hukum dan finansial bertanggung jawab menggunakan metode pengelolaan limbah yang aman dan ramah lingkungan.

Kedua, mengutamakan kewaspadaan. Ketiga dan keempat, terutama khusus limbah Covid-19 yang tergolong prinsip kesehatan dan keselamatan dan penanganan limbah berbahaya secara langsung untuk memperhatikan risiko pada pemindahan.

Sampai saat ini, kondisi bagaimana cara pengelolaan limbah medis di Indonesia masih menjadi tantangan.

Mulai dari segi peran pemerintah daerah, SDM, regulasi, kapasitas pengolahan, penyelarasan antar lembaga, sarana prasarana, perizinan, peran swasta, dan biaya.

Kinerja pengolahan limbah medis belum layak baik dari segi jumlah maupun penyebaran yang tidak merata. Jumlah Fasyankes yang telah memiliki fasilitas pengolahan limbah berizin saat ini baru berjumlah 120 rumah sakit dari 2.880 rumah sakit dan hanya 5 rumah sakit yang memiliki autoclave.

Terkait masalah pengangkutan juga menghalami tantangan dikarena jasa pengangkutan yang dimiliki izin hanya 165 jasa. Kondisi ini, membuat pengangkutan belum dapat menjangkau seluruh Fasyankes di Indonesia terkhusus Fasyankes di daerah Indonesia timur, daerah terpencil, dan kepulauan.

Melihat masalah penanganan limbah medis ini, pemerintah kemudian memberikan anggaran kurang lebih sebesar Rp1,3 triliun untuk membersihkan limbah medis pada masa pandemi Covid-19 yang disalurkan ke beberapa pos anggaran Satgas Penanganan Covid-19.

Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum. Presiden mengharapkan bahwa dana tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk mengatasi limbah medis seperti insenerator. KLHK juga memaparkan 3 langkah utama dalam penyelesaian limbah medis B3.

Pertama, relaksasi kebijakan untuk Fasyankes yang belum memiliki izin insenerator berupa dispensasi operasi dengan memenuhi syarat teknis tertentu.

Kedua, KLHK memberi dukungan sarana berupa pembangunan 10 insinerator yang memiliki daya tampung 150-300 kg/jam di beberapa daerah antara lain: Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, NTT, NTB, Papua Barat dan Kalimantan Selatan. Ketiga, kegiatan pengawasan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *