Penulis : Raja Muhammad Hafidz
Malang | Jejakkasustv.com – Korupsi bukanlah sebuah kasus yang bisa dianggap remeh, terlebih jika tindakan korupsi itu melibatkan uang negara. Karena dengan melakukan korupsi, itu artinya telah merampas hak asasi rakyat untuk hidup sejahtera. Uang yang seharusnya dikelola untuk menyejahterakan rakyat justru dicuri oleh pejabat yang tidak bertanggung jawab.
Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari tahun 2004 sampai Oktober 2022 terdapat setidaknya 1.310 kasus korupsi. Artinya, pemerintah masih perlu melakukan perbaikan dan pembenahan dalam penanganan kasus korupsi yang dilabeli sebagai kejahatan luar biasa ini. Jumlah 1.310 merupakan jumlah yang luar biasa banyak, sedangkan dalam satu kasus korupsi saja biasanya melibatkan uang negara hingga triliunan rupiah. Hal tersebut telah mengindikasikan bahwasannya para pemimpin di negeri ini masih memiliki mental pencuri dalam diri mereka.
Menurut Juniadi Suwartojo, korupsi adalah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehing langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat.
Lantas mengapa kasus korupsi bisa begitu ‘subur’ di negeri ini? Apa yang menjadi faktor utama terjadinya tindak korupsi di negeri ini? Secara garis besar, penyebab terjadinya korupsi dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah sikap individu, sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh yang berasal dari lingkungan atau pihak luar. Kuat tidaknya nilai-nilai anti korupsi sangat mempengaruhi faktor internal. Oleh karena itu, perlu dilakukannya penanaman nilai-nilai anti korupsi kepada seluruh rakyat Indonesia sebagai usaha untuk mencegah terjadinya tindak korupsi. Dan jika nilai-nilai anti korupsi telah tertanam dengan baik dalam diri warga Indonesia, maka akan terbentuklah lingkungan yang bersih dari sifat korupsi.
Sementara itu, menurut hasil analisa yang dilakukan oleh Kemendagri, faktor utama terjadinya tindak korupsi adalah celah yang melancarkan niat jahat para oknum untuk melakukan korupsi. Terdapat berbagai macam jenis celah yang menyebabkan tindak korupsi, seperti sistem pemerintahan yang tidak transparan, kepentingan politik yang membutuhkan dana yang tinggi, dan ambisi besar untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Menurut laporan Transparency International, Indonesia menempati peringkat 96, skor Indonesia adalah 36 dari 100 poin. CPI adalah contoh situasi dan keadaan korupsi di tingkat negara bagian atau teritorial. Penurunan skor Indeks Persepsi korupsi di Indonesia disebabkan banyaknya data korupsi yang dikumpulkan. ICW pada Februari 2017 menerbitkan 482 kasus pada 2016.
Berdasarkan laporan informasi di atas, korupsi di Indonesia merupakan masalah yang sangat serius, korupsi berdampak fatal bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta merusak sistem perekonomian. Untuk waktu yang lama mereka mencoba menjadikan korupsi sebagai musuh bersama. Namun, pemberantasan korupsi tidak dikelola secara optimal. Penanganan kasus korupsi terkesan berlarut-larut dan tidak tuntas diselesaikan. Mengandalkan proses kepolisian saja tidak cukup. Pemberantasan korupsi harus dilakukan bersama, mengingat korupsi adalah musuh bersama. Oleh karena itu perlu dilakukan gerakan antikorupsi yang komprehensif. Sampai saat ini, kasus korupsi belum diberantas secara sistematis, terbukti dengan masih banyaknya para oknum pejabat yang lolos dari pengawasan KPK. Korupsi merupakan suatu kejahatan yang luar biasa, oleh karena itu untuk memberantasnya diperlukan upaya yang luar biasa pula.
Perilaku korupsi di Indonesia terkait erat dengan maraknya suap, pengadaan barang dan jasa, serta penyalahgunaan anggaran, yang biasanya dilakukan oleh pihak swasta dan pegawai pemerintah. Oleh karena itu, langkah-langkah untuk mencegah korupsi diperlukan. Keterlibatan saja tidak cukup untuk memberantas korupsi
Komitmen ini harus dilaksanakan ke dalam strategi antikorupsi yang komprehensif. Tindak korupsi dapat dicegah melalui tiga strategi, yaitu strategi preventif, strategi represif, dan strategi detektif. Ketiga strategi tersebut dilaksanakan untuk meminimalisasikan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi dan mempercepat diprosesnya pelaku korupsi secara hukum.
Strategi preventif adalah upaya pencegahan korupsi yang bertujuan untuk meminimalisasi penyebab dan peluang untuk melakukan tindak korupsi, seperti memperkuat Mahkamah Agung, memperkuat DPR, peningkatan kualitas system pengendalian manajemen, dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Strategi detaktif adalah upaya yang bertujuan untuk melacak terjadinya kasus-kasus korupsi secara efisien, tepat, dan cepat. Contoh strategi detektif adalah pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan, pelaporan kekayaan pribadi para pejabat, serta perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat.
Strategi represif adalah upaya yang bertujuan agar setiap tindakan korupsi yang telah diidentifikasi segera diproses dengan cepat dan tepat, sehingga para pelakunya dapat diberi sanksi dengan segera sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Upaya represif untuk mencegah tindak korupsi antara lain penentuan jenis-jenis korupsi yang hendak diberantas, penguatan kapasitas badan pemberantas korupsi, dan publikasi kasus-kasus tindak pidana kepada publik.
Setelah mengetahui faktor-faktor dan pencegahan tindak korupsi, pada akhirnya kembali pada setiap individu, apakah bertekad untuk menghilangkan budaya korupsi di Indonesia, atau sebaliknya, menuruti hawa nafsu untuk memperkaya diri dan menjadi generasi koruptor berikutnya. Namun perlu diingat, bahwa korupsi adalah sebuah perbuatan yang dapat menghancurkan sebuah bangsa dari dalam. Maka dari itu, hilangkanlah sifat serakah pada diri kita akan harta yang melimpah dan mulai berjuang untuk mewujudkan Indosedia yang bersih dari korupsi.
Menurut Supriyanto alias Ilyas papanya Raja Muhammad Hafidz Putra asli Mojopahit.
Korupsi adalah budaya bangsa?
Korupsi merupakan budaya bangsa Indonesia. Ungkapan tersebut sering kita dengar, dan bahkan secara tidak sadar, kita sering membenarkan ungkapan tersebut. Ungkapn tersebut tentu lahir bukan tanpa sebab. Menjamurnya korupsi di setiap lapisan masyarakat, membuat banyak orang yang secara tidak sadar menganggap bahwa korupsi memang telah menjadi budaya di negeri ini. Bagaimana tidak, tak perlulah rasanya melihat berbagai kasus korupsi atau OTT KPK yang diberitakan di media massa atau televisi nasional kita, itu terlalu mainstream, sudah bukan barang aneh lagi di negeri ini. Dan juga, “terlalu sedikit” untuk menggambarkan bahwa korupsi memang mewabah di negeri ini. Kenapa saya katakan terlalu sedikit? Karena kenyataan yang terjadi di lapangan membuka mata kita bahwa korupsi memang telah terjadi merata di seluruh lapisan masyarakat kita, bukan hanya di level politisi, bukan hanya di level kepala daerah, tidak juga hanya di level para pejabat pemerintahan, atau hanya terjadi di lingkungan pemerintahan serta dilakukan oleh para PNS/ASN. Tidak. Tidak hanya itu! Korupsi memang seakan-akan telah menjadi budaya bangsa ini. Namun, saya pribadi tidak sependapat dengan pernyataan bahwa korupsi merupakan budaya kita. Kenapa? Karena budaya merupakan sesuatu yang baik dan perlu dilestarikan, sementara korupsi, nyolong, merupakan sesuatu pekerjaan yang tidak baik dan perlu dibumihanguskan dari negeri ini. Setuju? Harus. Jika dikatakan bahwa korupsi telah membudaya, saya lebih setuju, namun korupsi bukan budaya kita. Memalukan!
Kenapa di atas saya katakan bahwa korupsi tidak sesempit yang diberitakan di televisi/koran-koran saja? Korupsi juga tidak sebatas yang dilakukan oleh para pejabat, kepala daerah, atau para ASN, namun korupsi telah dilakukan merata di seluruh lapisan masyarakat. Coba kita lihat, banyak pedagang yang mengurangi timbangan barang dagangannya, banyak penjual BBM yang mengurangi jumlah literannya, sopir-sopir truk yang minta jatah ketika mengirim barang kepada pelanggannya, tukang parkir yang tidak memberikan uang kembalian kepada para pemarkir sepeda motor, dan sebagainya. Bahkan, yang lebih memprihatinkan lagi adalah, banyak anak-anak sekolah yang mulai belajar menipu orangtua mereka, lewat uang SPP lah, uang buku yang di-mark up lah, dan sebagainya. Dan itu terjadi sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Miris bukan? Artinya, proses belajar menjadi “maling” ini sudah dimulai semenjak bangsa ini masih berada di usia sekolah. Artinya lagi, korupsi memang tidak hanya terjadi di lingkungan pemerintahan, namun hampir di semua lini kehidupan kita. Ya tentu tidak semuanya ya, dan saya pribadi sangat berharap bahwa hal itu hanya dilakukan oleh segelintir orang saja, para oknum.
Makna budaya : Saya mengatakan bahwa budaya merupakan sesuatu hal yang baik dan layak untuk dipertahankan, sehingga korupsi memang bukanlah budaya. Dari sudut pandang bahasa, kata “budaya” berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu Buddhaya, yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi yang artinya adalah segala hal yang berhubungan dengan budi dan akal manusia. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan budaya sebagai pikiran, akal budi atau adat istiadat. Sehingga dari pengertian tersebut, sangat jelas bahwa dalam pengertian budaya terdapat sebuah perilaku yang didasarkan pada unsur kebaikan, yakni berstandar pada akal budi.
Sedangkan korupsi jelas secara nyata merupakan perbuatan busuk dan tidak bersandar pada budi maupun akal yang baik. Oleh karena itu korupsi bukanlah merupakan budaya. Korupsi merupakan perbuatan yang merugikan orang lain dan bahkan merugikan bangsa dan negara, korupsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat.
Masih kata Ilyas : Jadi jelas jelas Korupsi itu perbuatan maling bertentangan dengan budaya yang mempunyai akal baik Budi luhur. (Budaya benteng Kejaaan Mojopahit)