Suara Tuhan Tidak Untuk di Perjualbelikan

Oleh: Muhammad Wawan Gunawan (Bendum Pemuda Muhammadiyah/Pegiat Pokja Rumah Demokrasi)

PONTIANAK I Jejakkasustv.com -, Kurang lebih tiga hari lagi, masyarakat Indonesia umumnya, dan khususnya Kalimantan Barat akan melaksanakan pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) serentak tahun 2024.

Pelbagai persiapan sudah dilakukan oleh penyelenggara Pemilu dalam hal ini adalah pihak KPU dan Bawaslu.

Pembentukan Panitia di tingkat TPS hingga pendistribusian logistik pemilu sudah dilakukan mengingat pungut hitung Pemilu 2024 sudah di depan mata.

Namun di hari-hari terakhir menjelang pungut hitung memang terasa cukup berat. Pengawasan terhadap peserta Pemilu seharusnya dilakukan oleh semua pihak, bukan hanya panitia yang bertugas mengawasi.

Mulai dari penertiban alat peraga kampanye (APK) peserta pemilu, mengawasi logistik pemilu, mengawasi peserta pemilu hingga mengawasi penyelenggara Pemilu itu sendiri menjadi sederet pekerjaan panjang penyelenggara Pemilu itu sendiri, untuk mensukseskan hajatan lima tahunan ini.

Didetik-detik terakhir pencoblosan, yang masih kerap kali ditemukan adalah adanya manuver gelap dibelakang layar yang dilakukan oleh para peserta pemilu yang tidak bertanggungjawab.

Ditengah-tengah masyarakat, sering kali terjadi transaksi yang melibatkan rupiah dalam jumlah besar.

Suara-suara sayu masyarakat dihargai dengan rupiah, dan menjelang hari pungut hitung isu ini kian santer terdengar.

Berkaca pada peristiwa 5 tahun lalu, pada 16 April 2019, satu hari menjelang hari pencoblosan Pemilu 2019, Bawaslu Melawi melakukan tangkap tangan terhadap dua orang warga yang diduga tim sukses salah satu calon anggota DPRD di Kabupaten Melawi.

Jumlahnya fantastis, Rp 81 juta uang cash di bawa dua orang tim sukses itu yang diakui mereka akan dibagikan di Kecamatan Ella Hilir.

Semuanya sudah dibungkus rapi, ada uang pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu. Sudah disimpan di dalam 324 amplop. Kuat dugaan, memang uang itu disiapkan untuk serangan fajar (Politik Uang) dan siap dibagikan kepada masyarakat.

Namun sayang, kasus ini kemudian menguap begitu saja. Kedua pelakunya tidak mendapatkan hukuman, meski sudah dilakukan tangkap tangan.

Beralih ke kasus lainnya, beberapa oknum peserta pemilu ataupun tim sukses sudah membungkus transaksi-transaksi menjelang pungut hitung dalam kemasan lain.

Tidak melulu dalam bentuk rupiah, tapi ada juga yang membalutnya dalam bentuk pemberian kain sarung, barang pecah belah bahkan sembako siap dibagikan menjelang hari pemungutan suara.

Inilah hal yang kemudian menjadi PR bagi para pengawas dan penyelenggara pemilu lainnya. Kita ingin Pemilu menghasilkan pemimpin berkualitas, tentu harus di barengi dengan proses yang memiliki kredibilitas tinggi.

Kembali ke makna awal Demokrasi, menurut para ahli istilah ini berasal dari bahasa Yunani, Demos dan Kratos. Demos bermakna Rakyat sedangkan Kratos adalah kekuasaan yang mutlak. Artinya, kekuasaan yang mutlak dari rakyat.

Sementara itu, H. L. Mencken mengatakan kalau Demokrasi adalah sebuah teori yang mana rakyat tahu apa yang mereka butuhkan dan pantas dapatkan sangatlah berat.

Sedangkan E. E. Schattschneider mendefinisikan Demokrasi adalah sistem politik yang kompetitif yang di dalamnya terdapat persaingan antara para pemimpin dan organisasi-organisasi dalam menjabarkan alternatif-alternatif kebijakan publik sehingga publik dapat turut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Demokrasi adalah pemerintahan rakyat atau bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara wakilnya.

Disisi lain, kita sering mendengar ungkapan di demokrasi “Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan”. Jika pemilu dilakukan dengan tidak ada campur tangan rupiah dan iming-iming yang dijanjikan kepada konstitusional maka rasanya istilah ini adalah tepat untuk Demokrasi kita hari ini.

Tapi jika masih ada campur tangan rupiah di setiap hari pencoblosan, rasa-rasanya, istilah itu masih jauh dari kata layak untuk disematkan dalam kontestasi lima tahunan.

Jika benar istilah suara rakyat adalah suara Tuhan, maka tidak lah layak bagi para politisi untuk memperjualbelikan suara Tuhan.

Dilakukannya transaksi dalam bentuk rupiah, atau apapun itu adalah penghinaan terhadap keagungan Tuhan dalam demokrasi. Wallahu alam.

 

Reporter : A@ Hady

 

Sumber : Zak

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *